Kamis, 11 April 2013

Hemmm,,, ini pasti disuka saudara semua....

Pertanyaan: Apakah termasuk riba apabila kita membeli sebuah barang dan kita menjualnya dengan herga dua kali lipat dari harga belinya???...

Dijawab oleh Ustadz Muhammad Sarbini.

Dalam syariat yang agung ini tidak ada penentuan batas laba maksimum dalam penjualan suatu barang. Maka dari itu, hal itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku di pasar-pasar kaum muslimin.

Menurut al-Lajnah ad-Da'imah [diketuai syaikh bin Baz], "Laba penjualan seorang pedagang tidak dibatasi secara syariat dengan presentase sertentu. Akan tetapi, tidak boleh menipu pembeli dengan cara menjual dengan harga yang melebih harga setandar di pasaran. Disyariatkan bagi seorang muslim untuk tidak mengambil laba terlalu besar, tetapi menjadi orang yang bersifat toleran [berlapang dada] dalam menjual dan membeli berdasarkan anjuran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk bersifat toleran [berlapang dada] dalam muamalah."

Ibnu Utsaimin [semoga Allah merahamti beliau] berkata dalam Fath Dzil Jalal wal Ikram -memetik faedah dari hadits 'Urwah bin Bariqi Radhiyallahu 'Anhu yang diberi uang satu dinar oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk membeli seekor kambing, lalu ia berhasil membeli dua ekor dengan uang itu, kemudian menjual salah satunya dengan harga satu dinar, sehingga dia membawakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam seekor kambing dan uang satu dinar-, "Diantara faedah hadits ini adalah bahwasannya pengambilan laba dalam jual beli tidak punya batas maksimum. Oleh karena itu, boleh bagi seorang penjual mengambil laba senilai 1/10 dari harga barangnya, 1/5, 1/4, atau lebih besar dari itu. Namun, hal itu dengan syarat tidak melakukan penipuan harga. Adapun jika hal itu dengan cara penipuan harga, haram mengambil laba melebihi kewajaran di pasaran.

Lain halnya jika hal itu dihasilkan dengan cara usaha [tanpa unsur penipuan harga], yaitu dikarenakan harga pasaran barang itu naik, penjual pertama menjual kepadanya dengan harga murah karena bersikap toleran kepadanya, atau seseorang membeli darinya dengan harga mahal karena sikap toleran kepadanya. Jike demikian, hal itu tidak mengapa. Boleh jadi, penjual pertama mengetahui bahwa barang dagangan itu harga pasarannya dua puluh, lalu ia menjualnya kepada Anda seharga sepuluh. Jika Anda menjualnya dengan harga standar di pasaran, berapa harganya? Harganya dua puluh atau lebih. Hal itu tidak mengapa, karena penjual pertaman menjualnya dengan harga murah kepada anda lantaran sikap toleran. Boleh jadi pula, pembeli tahu bahwa harganya sepuluh [misalnya], tetapi ia ingin memberi manfaat kepada Anda dengan membelinya seharga dua puluh, hal itu pun tidak mengapa. Walaupun pada kedua contoh tersebut harga pasarannya tidak mengalami lonjakan di pasaran.

Jadi, yang tidak boleh adalah menipu pembeli yang tidak tahu harga pasaran dan tidak pandai menawar sehingga mengeruk darinya laba sebesar-besarnya melebihi kebiasaan yang berlaku di pasar-pasar kaum muslimin. Ini yang dikenal dalam ilmu fikih sebagai penjualan kepada al-mustarsil. Terdapat dua tafsir mengenai makna mustarsil:

1. Orang yang tidak tahu harga barang di pasaran.

2. Orang yang tidak bisa menawar barang, tetapi menuruti ucapan penjual. Ini yang datang dari al-Imam Ahmad [semoga Allah merahmati beliau].

Alhasil, al-mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga pasaran dan tidak pandai menawar harga.
Ibnu Taimiyah [semoga Allah merahmati belaiu] menerangkan setelah menyebutkan kedua tafsir tersebut, "Maka dari itu, ia tidak boleh ditipu dengan pengambilan laba yang sangat merugikan, baik yang ini [makna pertama] maupun yang itu [makna kedua].

Ibnu Taimiyah [semoga Allah merahmati beliau] berkata, "Tidak boleh menjual kepada al-mustarsil kecuali dengan harga wajar, sebagaimana penjualan kepada yang lainnya [yang tahu harga]. Tidak boleh bagi seorang penjual menipu orang yang menurutinya denga mengeruk laba yang sangat besar melebihi kewajaran. Ada sebagian ulama membatasinya sebesar 1/3 dari harga barang. Ada yang membatasinya dengan 1/6 dari harga barang. Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku. Apa yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat dalam pengambilan laba jual beli mereka kepada orang yang  menawar, senilai itu pulalah laba yang diambil dari al-mustarsil." Pendapat terakhir inilah yang benar, bahwa hal itu kembali kepada kebiasaan yang ada di pasar-pasar kaum muslimin.

Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, dan Ibnu Utsaimin [semoga Allah merahmati merka semua] menegaskan bahwa al-mustarsil yang dirugikan melebihi harga wajar, memiliki hak hiyar al-ghabn, yaitu hak orang yang rugi karena tertipu dalam transaksi jual beli untuk memilih antara meneruskan akad tersebut atau melakukan faskh [pembatalan akad]. Ini adalah mazhab Ahmad dan Malik.
Dalilnya adalah penetapan khiyar al-ghabn oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pada kasus talaqqi ar-rukban, yaitu menghadang kafilah yang datang ke suatu negri sebelum masuk pasar agar dibeli murah jauh di bawah harga standar. Jika ia telah masuk pasar lantas mengetahui bahwa dirinya tertipu, ia berhak memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya.

Adapun hadits Abu Umamah Radhiyallahu 'Anhu [yang artinya],

"Menipu al-mustarsil adalam perbuatan haram." [HR. Imam Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir]

dan hadits Jabir, Anas, dan 'Ali Radhiyallahu 'Anhum [yang artinya],

"Menipu al-mustarsil adalah riba." [HR Imam al-Baihaqi]

Keduanya hadits yang dha'if [lemah], bukan hujah.

Adapun pendapat Imam Syafi'i dan Malik yang menyatakan transaksi itu telah terjadi dan sah tanpa adanya hak khiyar baginya, adalah pendapat yang lemah.

Wallahu a'lam.

Barakallahu fiikum....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar